Ringan di Jempol, Berat di Hati
Di era serba digital, media sosial sudah menjadi ruang baru bagi kita untuk mengekspresikan diri. Setiap hari kita membaca status orang lain, melihat foto-foto baru, berbagi cerita hidup, bahkan berkenalan dengan orang baru. Media sosial seolah membuka dunia tanpa batas: semua orang bisa terhubung hanya dengan sekali sentuh layar.
Namun, di balik segala kemudahannya, media sosial juga membawa sisi gelap yang kadang luput kita sadari. Salah satunya adalah perundungan di media sosial, atau yang dikenal dengan cyberbullying. Fenomena ini semakin sering kita temui belakangan ini — baik sebagai korban, pelaku, maupun saksi. Sayangnya, masih banyak yang menganggapnya sepele, padahal dampaknya bisa sangat besar.
Mengapa Perundungan di Media Sosial Mudah Terjadi?
Salah satu alasan mengapa perundungan di media sosial begitu mudah terjadi adalah karena adanya anonimitas atau jarak yang diciptakan oleh layar. Banyak orang merasa lebih berani, bahkan lebih kejam, ketika berkomunikasi tanpa tatap muka. Di balik foto profil dan nama akun, orang merasa bebas berkata apa saja, seolah tak ada konsekuensi.
Selain itu, budaya media sosial yang serba cepat dan impulsif kadang membuat orang lupa untuk berpikir sebelum mengetik. Komentar yang sebenarnya bisa disimpan atau diungkapkan dengan cara lebih baik malah dilontarkan begitu saja. Ada juga yang menganggap “cuma bercanda” atau “biar rame,” padahal yang menerima tidak selalu melihatnya begitu.
Ditambah lagi, tekanan untuk tampil sempurna di media sosial membuat banyak orang jadi sasaran empuk komentar negatif. Foto yang dianggap “kurang pantas,” tulisan yang “beda pendapat,” atau bahkan sekadar punya gaya yang unik bisa memicu komentar jahat dari orang yang tak bertanggung jawab.
Bentuk-bentuk Perundungan di Media Sosial
Perundungan di media sosial punya banyak wajah, dan kadang kita bahkan tak menyadari bahwa tindakan kita termasuk di dalamnya. Beberapa contoh yang paling umum antara lain:
-
Komentar menghina fisik atau penampilan (body shaming)
Banyak orang jadi korban komentar tentang berat badan, warna kulit, atau bentuk tubuh mereka ketika mengunggah foto.
-
Menyebarkan gosip atau fitnah
Kadang dalam bentuk tangkapan layar, pesan suara, hingga video yang sengaja diunggah untuk mempermalukan orang lain.
-
Membuat akun palsu untuk mengejek atau menyamar
Ini banyak terjadi pada figur publik, tetapi juga bisa dialami siapa saja.
-
Mengirim pesan berisi ancaman atau kata-kata kasar secara pribadi (direct message)
Karena tidak terlihat orang lain, pelaku merasa aman.
-
Mengucilkan seseorang secara daring
Contohnya dengan sengaja tidak menyertakan seseorang di grup, atau sengaja mengabaikan pesannya.
Bentuk-bentuk ini bisa terjadi satu kali atau berulang-ulang. Namun bahkan sekali pun, dampaknya tetap bisa meninggalkan luka.
Dampak Negatifnya Tak Bisa Diremehkan
Mungkin bagi pelaku atau orang lain yang melihat, perundungan di media sosial tampak sepele: hanya komentar, hanya candaan, hanya kata-kata. Tapi bagi korban, itu bisa jadi pengalaman yang sangat menyakitkan.
Beberapa dampak negatif yang sering dirasakan korban antara lain:
-
Penurunan rasa percaya diri
Korban seringkali mulai meragukan diri mereka sendiri, merasa bahwa komentar negatif itu benar, dan menyalahkan diri mereka atas apa yang terjadi.
-
Stres, cemas, hingga depresi
Tekanan psikologis karena terus-menerus dihina, diancam, atau dijadikan bahan tertawaan bisa membuat seseorang kehilangan semangat hidup.
-
Menutup diri dari orang lain
Banyak korban memilih untuk menghapus akun media sosialnya, menghindari pergaulan, atau bahkan berhenti berinteraksi dengan orang terdekat karena merasa malu dan terpuruk.
-
Trauma jangka panjang
Dalam kasus yang lebih parah, korban bisa mengalami trauma mendalam yang berdampak hingga bertahun-tahun ke depan, bahkan memicu pikiran untuk menyakiti diri sendiri.
Inilah mengapa penting bagi kita untuk berhenti menganggap enteng dampak perundungan di media sosial. Luka yang ditinggalkan memang tidak terlihat, tetapi nyata.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Kita semua punya peran untuk menciptakan media sosial yang lebih sehat. Setiap orang bisa memulai dari diri sendiri, dengan langkah-langkah sederhana:
-
Pikirkan dulu sebelum berkomentar
Tanyakan pada diri sendiri: apakah kata-kata ini menyakitkan? Apakah saya mau diperlakukan seperti ini?
-
Jangan ikut-ikutan menyebarkan gosip atau konten negatif
Sekali kita menekan tombol share, kita ikut berperan menyebarkan keburukan.
-
Berani menegur dan melaporkan pelaku
Jika melihat perundungan, jangan diam. Laporkan kepada platform media sosial atau dukung korban untuk melawan.
-
Dukung teman yang jadi korban
Kadang, hal paling sederhana seperti mendengarkan atau memberi semangat sudah sangat berarti bagi korban.
Ingat, di balik setiap akun yang kita lihat di layar ada manusia yang punya perasaan. Menghargai perasaan orang lain tak pernah merugikan siapa pun.
Menutup Jempol, Membuka Hati
Media sosial seharusnya jadi tempat untuk berbagi cerita, belajar hal baru, menemukan inspirasi, dan memperluas pertemanan. Jangan biarkan jempol kita justru jadi alat untuk menyakiti orang lain.
Mudah sekali mengetik komentar pedas atau ikut menertawakan orang di media sosial, tetapi kita tak pernah tahu seberapa berat beban yang sudah mereka pikul. Yang ringan di jempol, seringkali sangat berat di hati orang lain.
Jadi, mari gunakan media sosial dengan lebih bijak. Gunakan kata-kata untuk menguatkan, bukan menjatuhkan. Jadilah bagian dari lingkungan yang lebih sehat, lebih hangat, dan lebih ramah — dimulai dari jempol kita sendiri