Diskon Hidup Karena Gender?

Katanya, jadi perempuan itu banyak untungnya. Tidak perlu kerja terlalu keras, cukup dengan wajah menarik dan sedikit senyum—semesta bisa lebih ramah. Beberapa orang percaya bahwa perempuan lebih mudah mendapatkan fasilitas, perhatian, bahkan uang, hanya karena gender. Tanpa repot, tanpa peluh, dan tanpa perjuangan berarti. Tapi benarkah realitasnya sesederhana itu? Atau jangan-jangan, kita terlalu sibuk menyoroti “keuntungan instan” yang terlihat, tanpa pernah benar-benar melihat tekanan dan tuntutan yang tersembunyi di baliknya?

Stereotip tentang perempuan yang “beruntung secara instan” bukan hal baru. Mulai dari komentar receh seperti “enak ya jadi cewek, tinggal manja dikit dibayarin”, sampai anggapan serius bahwa perempuan tak perlu berjuang keras untuk sukses secara finansial. Ini seringkali muncul di media sosial, ruang kerja, bahkan obrolan santai di tongkrongan. Masalahnya, narasi seperti ini tidak cuma merendahkan perjuangan perempuan, tapi juga menyederhanakan kompleksitas realita yang mereka hadapi.

Memang, tak bisa dipungkiri bahwa dalam beberapa situasi sosial, daya tarik fisik atau stereotip kelembutan perempuan bisa memengaruhi cara mereka diperlakukan. Ada istilah “pretty privilege” yang sering dibicarakan—keuntungan sosial yang diterima karena dianggap menarik secara fisik. Namun ketika hal ini dijadikan alasan untuk menuduh bahwa semua pencapaian perempuan didapatkan tanpa usaha, maka kita sedang menutup mata terhadap fakta-fakta penting.

Pertama, tidak semua perempuan menikmati “keuntungan” yang sama. Privilege, jika benar ada, sangat selektif: hanya berlaku pada standar kecantikan tertentu yang sangat sempit dan seringkali bias. Maka, jika pun ada perempuan yang “mendapat lebih” karena penampilannya, itu pun datang dengan harga mahal—mulai dari tekanan untuk selalu tampil sempurna, biaya untuk menjaga penampilan, sampai hilangnya nilai atas kompetensi diri. Banyak perempuan merasa harus membuktikan dua kali lebih keras bahwa mereka pintar, mampu, dan layak dihargai bukan hanya karena penampilan luar.

Kedua, narasi “cewek gampang dapat uang” sering menutupi kenyataan bahwa banyak perempuan justru menghadapi diskriminasi finansial yang nyata. Di banyak industri, kesenjangan gaji antara laki-laki dan perempuan masih jadi persoalan. Perempuan dengan kemampuan dan pengalaman yang sama bisa dibayar lebih rendah hanya karena gender. Di sisi lain, perempuan yang berusaha mengejar karier dianggap terlalu ambisius, tidak feminin, atau malah “ngoyo.” Artinya, ketika perempuan berusaha keras, mereka tetap dihakimi. Ketika mereka mendapatkan sesuatu dengan cara yang dianggap “tidak biasa,” mereka kembali dicurigai.

Lebih jauh lagi, anggapan bahwa perempuan bisa hidup nyaman hanya dengan mengandalkan gender mereka sangat mereduksi identitas dan potensi perempuan itu sendiri. Ia menciptakan ilusi bahwa perempuan tak perlu cerdas, cukup menarik. Bahwa kerja keras adalah urusan laki-laki, sementara perempuan cukup “pandai bersikap.” Ini bukan hanya pandangan yang keliru, tapi juga berbahaya. Karena ia mendistorsi nilai kerja keras dan memberikan pesan bahwa perempuan tak perlu berkembang, selama bisa “menyesuaikan diri” dengan ekspektasi sosial.

Menariknya, narasi ini juga muncul dari kecenderungan membandingkan secara dangkal. Ketika ada satu-dua kasus viral tentang perempuan yang hidup mewah karena jadi selebgram, pasangan orang kaya, atau viral karena penampilan, publik mudah lupa bahwa itu adalah sebagian kecil dari kenyataan. Sementara jutaan perempuan lain bekerja keras setiap hari—di kantor, di rumah, di pasar, atau bahkan di jalan—untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. Mereka jarang masuk sorotan. Mereka tidak viral. Tapi mereka nyata.

Dan jika pun ada perempuan yang memang memanfaatkan peluang sosial yang ada—entah dari daya tarik, hubungan, atau situasi lain—apakah itu berarti mereka tidak berhak mendapatkannya? Dunia tidak pernah benar-benar adil, dan perempuan selama ini lebih sering berada di posisi yang dirugikan. Maka ketika ada yang berhasil mengambil celah dari sistem yang tidak sempurna ini, kenapa justru mereka yang diserang?

Kritik terhadap ketimpangan harus diarahkan ke sistemnya, bukan pada individu yang mencoba bertahan di dalamnya. Karena pada akhirnya, jika kita terlalu fokus pada “keuntungan instan” yang diduga dimiliki perempuan, kita bisa lupa bahwa sistem sosial dan ekonomi masih sangat bias terhadap mereka. Dan selama bias itu ada, “keuntungan” yang dimaksud tak akan pernah setara dengan kerja keras yang terus mereka lakukan.

Jadi, apakah benar perempuan mendapat semua dengan mudah? Jawabannya: tidak sesederhana itu. Privilege, jika memang ada, tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia dibentuk oleh norma, tekanan, dan ekspektasi sosial yang sering kali tidak terlihat. Maka sebelum melabeli, mungkin kita perlu bertanya: apakah kita sedang melihat kenyataan, atau hanya bayangan dari asumsi kita sendiri?

You might also enjoy