Azab Untukmu, Ujian Untukku

Kita semua punya cerita soal musibah. Mulai dari yang kecil, seperti kehujanan pas lupa bawa payung, sampai yang besar, seperti kehilangan pekerjaan atau ditipu teman. Dalam hidup, nggak ada yang bisa lolos dari hal-hal kayak gini.

Tapi, pernah nggak kamu denger cara orang-orang ngejelasin musibah? Uniknya, musibah itu sering punya “label” tergantung siapa yang ngalamin. Misalnya, pas orang yang kita nggak suka kena sial, langsung aja muncul komentar, “Azab tuh!” Sebaliknya, kalau kita sendiri yang kena? “Ini ujian dari Tuhan. Gue harus sabar.”

Lucu, kan? Kenapa cara kita ngeliat musibah orang lain dan diri sendiri bisa beda banget? Mari kita bahas dikit - dikit.

Cerita tentang Azab (Katanya)

Ada cerita lucu soal tetangga yang selalu pamer. Rumahnya bagus, mobilnya kinclong, tapi mulutnya, aduh, suka bikin tetangga lain naik darah. Suatu hari, mobilnya rusak di tengah jalan. Apa yang langsung muncul di kepala banyak orang?
“Rasain tuh, azab! Jangan sombong lagi.”

Padahal, kalau dipikir-pikir, apa hubungannya mobil rusak sama dosa? Mobil itu benda mekanik, wajar aja kalau kadang-kadang mogok. Tapi ya begitulah, manusia cenderung ngait-ngaitin musibah orang lain sama “hukuman Tuhan.”

Lucunya, kita sering banget ngelakuin ini ke orang yang nggak kita suka. Seolah-olah kita dapet kepuasan tersendiri ngelihat mereka susah. Bahkan ada yang mikir, “Tuh kan, bener feeling gue. Dia pasti ada salahnya.”

Kalau setiap musibah itu azab, terus gimana kalau kita sendiri kena sial? Apakah orang lain juga punya hak buat bilang, “Azab buat dia tuh!”? Jangan-jangan malah lebih parah.

Giliran Kita, Itu Ujian

Sekarang balik ke diri sendiri. Misalnya kamu lagi sial. HP jatuh, layarnya pecah, dan parahnya, itu HP baru! Apa yang biasanya kamu pikirkan?
“Duh, ini ujian dari Tuhan. Gue harus ikhlas.”

Lucu banget, ya. Kalau orang lain apes, kita langsung ngecap itu azab. Tapi giliran kita, tiba-tiba musibah itu naik level jadi “ujian.” Seolah-olah kita lebih spesial, jadi Tuhan kasih cobaan biar kita bisa jadi lebih kuat.

Ini contoh paling nyata dari standar ganda. Kita nggak mau musibah kita kelihatan buruk, jadi kita bungkus dengan label yang lebih “terhormat.” Tapi anehnya, kita nggak mau kasih kelonggaran yang sama buat orang lain.

Kenapa Bisa Begini?

Sebenernya, ini semua karena ego. Kita suka merasa lebih baik dari orang lain, jadi pas mereka kena musibah, kita manfaatin itu buat “membuktikan” bahwa mereka salah.

Sebaliknya, kalau kita yang kena musibah, ego kita nggak mau kalah. Kita nggak mau kelihatan lemah atau bersalah, jadi kita cari alasan yang bikin kita terlihat lebih baik. “Gue lagi diuji,” kata kita sambil menenangkan diri.

Fakta menarik:
Nggak ada yang suka dihakimi. Tapi, anehnya, kita sering banget ngehakimi orang lain. Ironis, kan?

Apa Salahnya Cara Pikir Ini?

Pertama, cara pikir kayak gini bikin kita gampang nge-judge orang lain. Padahal, kita nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi di hidup mereka. Apa bener mereka salah? Apa bener musibah itu hukuman?

Kedua, kita jadi nggak adil. Kita minta pengertian dari orang lain kalau kita kena sial, tapi nggak mau ngasih pengertian yang sama ke mereka.

Ketiga, ini bikin kita lupa bahwa musibah itu bagian dari hidup. Kadang, nggak ada hubungannya sama dosa atau ujian. Ya, hidup aja yang lagi bercanda sama kita.

Coba Ubah Cara Pandang

Daripada sibuk ngasih label “azab” atau “ujian,” coba deh ubah cara pandang kita soal musibah. Misalnya:

  1. Stop Julid
    Pas ada orang lain kena sial, tahan diri buat nggak langsung nge-judge. Mungkin mereka lagi diuji, sama kayak kamu waktu apes.

  2. Belajar Simpati
    Nggak semua musibah itu tanda kesalahan. Kadang, orang butuh dukungan, bukan penghakiman.

  3. Refleksi Diri
    Musibah bisa jadi pengingat buat kita. Bukan buat ngehakimi orang lain, tapi buat introspeksi diri. Apa kita udah cukup baik? Apa kita udah berhenti nyakitin orang lain?

Penutup: Hidup Itu Nggak Selalu Soal Hitam-Putih

Musibah datang ke siapa aja, kapan aja. Nggak peduli siapa yang baik atau jahat, siapa yang rajin ibadah atau suka bolos. Jangan buru-buru ngecap musibah orang lain sebagai azab, dan jangan terlalu cepat nyebut musibah kita sebagai ujian.
Hidup itu nggak sesimpel itu, bro. Kadang, kita cuma perlu sedikit lebih banyak bersyukur dan berhenti ngehakimi. Karena siapa tahu, besok giliran kita yang butuh simpati, bukan penghakiman.

You might also enjoy