Cerita Fiksi dan Logika yang Terabaikan

Menulis cerita fiksi itu seharusnya menyenangkan. Penulis bisa menciptakan dunia baru, menata karakter sesuka hati, dan menyusun konflik yang dramatis. Tapi, satu hal yang perlu diingat: fiksi itu bukan berarti bebas ngarang cerita se-enak jidat tanpa ada riset terlebih dahulu. Menulis itu butuh tanggung jawab, bukan cuma soal menyenangkan pembaca, tapi juga menghadirkan karya yang bermakna dan masuk akal.

Namun, belakangan ini, pasar cerita online dipenuhi oleh cerita-cerita dengan trope yang sama: CEO kaya raya, dipaksa menikah, menyewa rahim, dan kawin kontrak. Plot-plot seperti ini sudah terlalu sering diulang-ulang sampai rasanya nggak ada lagi yang menarik. Cerita yang seharusnya bisa menawarkan sesuatu yang segar justru terasa monoton, klise, dan membosankan.

Kenapa cerita seperti ini tetap diminati? Mari kita bongkar beberapa poin yang membuat fenomena ini terus terjadi.

Monotonnya Cerita “CEO Kaya Raya”

Coba buka aplikasi novel online dan lihat kategori populer. Ada berapa banyak cerita dengan judul seperti:

  • “Istri CEO yang Dibenci”
  • “Kawin Kontrak dengan Miliarder”
  • “Nyawa Bayi untuk CEO”

Plotnya? Pasti nggak jauh-jauh dari perempuan miskin yang dipaksa menikah dengan CEO kaya raya karena utang keluarga, balas dendam, atau kontrak aneh yang melibatkan bayi. Tokoh utama laki-laki selalu digambarkan sebagai pria dingin, kejam, tapi ternyata punya trauma masa lalu yang bikin dia nggak bisa percaya cinta. Sedangkan perempuan selalu digambarkan naif, lemah, tapi entah bagaimana bisa “menjinakkan” sang CEO.

Sebagai pembaca, kita harus tanya ke diri sendiri:
Apakah kita benar-benar menikmati cerita seperti ini? Atau kita cuma terbawa tren karena nggak ada alternatif lain?

Penulis cerita seperti ini sering kali bersembunyi di balik alasan “ini kan cuma fiksi.” Tapi fiksi bukan berarti boleh asal tulis tanpa logika. Karakter yang dibuat harus punya kedalaman, konflik harus punya dasar yang masuk akal, dan plot harus bisa mengajak pembaca berpikir, bukan sekadar mengulang trope lama yang membosankan.

Kurangnya Riset Membuat Cerita Jadi Sampah

Salah satu masalah terbesar dalam cerita-cerita populer adalah kurangnya riset.
Contoh sederhana: banyak cerita tentang CEO atau miliarder, tapi penulis nggak tahu bagaimana dunia bisnis sebenarnya bekerja. CEO digambarkan sebagai sosok yang punya waktu luang untuk mengejar cinta atau balas dendam, padahal dunia nyata nggak seperti itu. CEO biasanya sibuk dengan rapat, strategi bisnis, dan hal-hal yang jauh lebih kompleks daripada sekadar drama cinta.

Lalu ada trope tentang menyewa rahim atau kawin kontrak.
Plot ini sangat populer, tapi sering kali ditulis tanpa memahami realitas hukum dan etika di baliknya. Penyewaan rahim, misalnya, adalah isu yang sangat kompleks dan diatur oleh hukum di banyak negara. Tapi dalam cerita, ini digambarkan seperti hal yang mudah dilakukan, seolah-olah hanya butuh tanda tangan kontrak dan masalah selesai.

Jika penulis nggak melakukan riset yang baik, cerita yang dihasilkan akan terasa dangkal dan nggak punya nilai lebih.

Selera Pembaca yang Ikut Andil dalam Menurunkan Kualitas

Fenomena ini juga nggak bisa sepenuhnya disalahkan pada penulis. Pembaca punya peran besar dalam menentukan tren cerita.
Jika pembaca terus-terusan mencari cerita dengan trope yang sama, pasar akan terus dipenuhi oleh cerita sejenis. Penulis yang mencoba menawarkan cerita yang berbeda justru sering kali diabaikan karena nggak sesuai dengan “selera pasar.”

Tapi di sinilah masalahnya:
Selera pembaca yang busuk membuat pasar literasi jadi stagnan.
Ketika pembaca lebih memilih cerita dengan konflik absurd dan drama murahan, kualitas literasi kita akan ikut terpengaruh. Akhirnya, cerita dengan plot berkualitas justru tenggelam di antara cerita-cerita klise yang nggak punya nilai lebih.

Pembaca harus mulai selektif dalam memilih cerita. Jangan asal baca cerita yang cuma menawarkan sensasi drama tanpa logika. Pilih cerita yang bisa memberikan wawasan baru, yang bisa membuat kita berpikir, dan yang punya pesan moral yang baik.

Penulis, Jadilah Lebih Kreatif!

Untuk para penulis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

  1. Lakukan riset sebelum menulis.
    Jangan asal tulis cerita yang menurut kamu dramatis tanpa memahami konteksnya. Jika ingin menulis tentang CEO, pelajari bagaimana dunia bisnis bekerja. Jika ingin menulis tentang isu sosial, pelajari hukum dan etika di baliknya.

  2. Hindari trope murahan.
    Trope seperti kawin kontrak, menyewa rahim, atau dipaksa menikah sudah terlalu sering digunakan. Cobalah untuk menemukan konflik yang lebih segar dan berbeda. Karakter yang kompleks dan plot yang penuh kejutan akan jauh lebih menarik daripada cerita yang monoton.

  3. Bangun karakter yang masuk akal.
    Jangan jatuh ke dalam stereotip lama. Buatlah karakter yang punya motivasi yang jelas, latar belakang yang kuat, dan perkembangan yang nyata sepanjang cerita.

Kesimpulan: Fiksi Boleh Bebas, Tapi Harus Tetap Masuk Akal

Menulis fiksi adalah bentuk kebebasan berekspresi. Tapi kebebasan ini bukan berarti bebas dari tanggung jawab. Penulis harus sadar bahwa cerita mereka bisa memengaruhi pembaca. Jika cerita yang disajikan hanya sekadar drama murahan tanpa logika, pembaca akan kehilangan nilai dari literasi itu sendiri.

Sebagai pembaca, kita juga punya tanggung jawab untuk memilih cerita yang berkualitas. Jangan terjebak pada cerita dengan konflik absurd yang nggak masuk akal. Literasi adalah cerminan dari masyarakat. Jika kita terus menerima cerita dengan standar rendah, kualitas literasi kita akan ikut merosot.

Jadi, yuk, mulai menulis dan membaca dengan lebih selektif. Jangan cuma cari sensasi, tapi juga logika. Karena pada akhirnya, cerita yang baik adalah cerita yang bisa menghibur sekaligus menginspirasi.

You might also enjoy