Renungan di Penghujung Tahun
Waktu berlari seperti angin, tanpa pernah menoleh ke belakang. Tahu-tahu, di ujung tahun ini, aku kembali duduk menatap layar dan mencoba merangkai kata. Rasanya sudah lama sekali tak melakukannya—sekitar tiga bulan, kalau tak salah hitung. Kini, aku kembali, membawa rindu yang mengendap-endap seperti embun pagi di jendela. Sebentar lagi tahun berganti, dan seperti biasanya, pikiran tentang pencapaian, impian, dan masa depan menyeruak ke permukaan.
Lalu, apa yang sudah kulakukan selama setahun ini? Jujur saja, tidak banyak. Kalau hidupku diibaratkan sebuah kapal, mungkin kapal ini lebih banyak terombang-ambing di tengah laut, menunggu angin yang tepat untuk membawa layar ke arah yang baru. Namun, meskipun terasa lambat, aku masih di sini—berharap tahun depan menjadi permulaan yang lebih baik.
Usia 25: Simpang Jalan Menuju Dewasa
Di usia 25 ini, aku mulai merasa seperti seorang pendaki yang berhenti sejenak di tengah bukit. Ada rasa lelah, tetapi ada juga desakan dari dalam hati untuk terus maju. Tahun depan, aku akan memasuki usia 26—satu langkah lebih dekat ke fase hidup yang sering disebut “dewasa penuh.”
Bagiku, dewasa bukan hanya tentang angka di kartu identitas, tetapi tentang keberanian untuk bermimpi lebih besar dan bertindak lebih nyata. Salah satu impianku adalah memiliki pekerjaan tetap dan—yang tak kalah penting—menemukan seseorang untuk berbagi cerita, impian, dan hidup.
Mungkin terdengar klise, tetapi membayangkan hidup berbagi dengan seseorang selalu memberikan percikan hangat di hatiku. Aku ingin suatu saat nanti berbagi kasur yang hangat di malam dingin, melihat tawa kecil seorang anak yang memanggilku “ayah,” dan merangkai hari-hari sederhana yang penuh cinta. Semua itu seperti cahaya lilin di tengah gelap, sebuah tujuan yang memberi arah.
Harapan: Sebuah Peta yang Belum Lengkap
Namun, harapan tetaplah harapan. Hingga detik ini, aku belum benar-benar mempersiapkan apa pun untuk mencapainya—kecuali mimpi yang masih mentah. Kalau hidup adalah sebuah masakan, mungkin aku baru mengumpulkan bahan-bahannya tanpa tahu bagaimana cara memasaknya.
Aku tertawa kecil mengingat betapa seringnya aku membayangkan masa depan yang indah, tetapi tak kunjung mengambil langkah konkret untuk mewujudkannya. Seperti pelukis yang berdiri di depan kanvas kosong, aku kadang terlalu sibuk memikirkan apa yang harus kulukis hingga lupa mulai menggoreskan kuas.
Tahun Baru: Babak Baru dalam Novel Kehidupan
Namun, bukankah setiap tahun baru adalah kesempatan untuk membuka lembaran baru? Tahun baru seperti buku kosong yang menanti untuk diisi dengan cerita. Dan aku ingin ceritaku tahun depan dipenuhi dengan bab-bab penuh warna—lebih banyak tindakan, lebih banyak keberanian, dan lebih banyak kebahagiaan.
Aku sadar, mencapai impian bukanlah perjalanan yang mudah. Layaknya mendaki gunung, ada jalan terjal, ada jurang yang harus dihindari, dan ada puncak yang kadang terlihat begitu jauh. Tetapi bukankah setiap langkah kecil yang kita ambil adalah kemenangan tersendiri?
Mungkin aku belum punya semua jawabannya sekarang, tetapi aku ingin percaya bahwa setiap hari adalah kesempatan untuk belajar. Belajar menjadi lebih baik, lebih kuat, dan lebih siap untuk menghadapi apa pun yang menanti di depan sana.
Menyemai Benih, Menuai Mimpi
Jika tahun ini adalah ladang, mungkin aku hanya sempat menanam sedikit benih. Tapi aku percaya, tahun depan adalah waktunya untuk menyiram, merawat, dan melihat benih-benih itu tumbuh menjadi pohon harapan. Dan suatu hari nanti, pohon itu akan berbuah manis—buah dari kerja keras, kesabaran, dan doa yang tak pernah putus.
Jadi, di penghujung tahun ini, aku ingin mengingatkan diriku untuk tetap berjalan, meskipun langkahku kadang terasa berat. Tak apa sesekali berhenti, selama aku tak lupa untuk bangkit kembali. Karena hidup, pada akhirnya, adalah tentang perjalanan, bukan hanya tujuan.
Dengan semangat baru, aku ingin menjadikan tahun depan lebih dari sekadar angka di kalender. Aku ingin menjadikannya babak baru dalam novel kehidupanku—babak yang penuh keberanian, cinta, dan mimpi yang menjadi nyata.
Dan untuk itu, aku akan mulai sekarang. Meski kecil, langkah pertama selalu menjadi yang paling berarti.